Baru saja aku sobek kertas persegi panjang itu agar bentuknya jadi persegi, kamu mengambilnya. Burung kertas yang dari tadi aku rencanakan selalu gagal diawal karena ulah tanganmu. Sabar lagi aku robek kertas baru,ini kertas brosur tur tempat,tempat yang kini sedang kami singgahi. Sambil tersenyum, kamu menggetarkan si alat musik di tanganmu, mengikuti komando si pemandu tur dan berhenti menggangguku sejenak. Baru selipat aku memulai, seseorang menegurku. Membuat jengkel hatiku tapi mencairkan amarahku. Ia yang mengajarkanku membuat burung kertas.
“Nanti aku bantu,sekarang dengarkan pemandu kita bicara”
Beberapa waktu aku ikuti perkataannya, lama aku bosan lagi. Kertas yang tadi baru aku lipat sudah hilang lagi, kamu cuma nyengir.
“Coba kamu mau ajarkan saya bikin burung kertas” katamu sambil menggantung alat musik ditanganmu asal.
“Belum pula aku bisa!”
Gertakanku membuatmu diam, diam-diam kamu pindah ke kursi lain. Meninggalkan aku berdua dengan ia.
“Jangan begitu” ucap ia singkat. Aku menghela nafas panjang, berpaling kearah lain sambil bertanya dalam hati. Kenapa aku merasa ia memberlakukanku layak pelaku bukannya korban?
Selesai sesi alat musik, ia mencairkan diamku.
“Mana kertas tadi?”
“Hilang” aku masih tak enak hati
“Mau pakai brosur punyaku?”
“Terserah”
“Jangan marah” ia tertawa kecil, selanjutnya aku dengar suara robekan kertas di tempat duduk sampingku. Getar gerakan tangannya pun cepat, senang aku. Namun tetap, masih tak mau aku melihat kearahnya.
“Selesai!” ia memekik, tanpa sadar aku berbalik saking girangnya. Mataku tertuju pada lipatan sempurna ditangannya.Tanpa sadar aku berdecak kagum.
“Buat kamu” ia simpan lipatan burung kertas itu di telapak tanganku, lipatan yang terlihat sempurna. Aku langsung melihat tangannya, kagum.
“Keras sekali kamu belajar melipat seperti ini”
“Origami itu seni juga mengasah otak” ia tersenyum lagi, lumer.
“Bisa ya kamu melipat rapi”
“Tentu” ia tersenyum lagi
“Terima kasih, nanti-nanti tolong buatkan yang bany…”
Dan yang terjadi selanjutnya ia pergi, temannya memanggil untuk foto bersama.
“Aku tinggal ya,sudah selesai kaan Burung kertasnya?” ia pergi tanpa menunggu jawaban dan permintaan yang belum selesai. Namun, auranya masih tertinggal di origami di tanganku. Cepat-cepat aku potret Burung kertas itu.
**
“Terima kasih untuk kunjungan tur para siswa dan siswi…..”
Acara berakhir, bersama dengan tepuk riuh, aku dan lain-lain keluar dari arena.
“Panas” lain-lain mengipaskan tanganya. Memang benar katanya.
“Macet juga di sini, di depan ada apa ya?” Masih erat aku genggam burung kertas buatan ia.
“Aku penasaran” Lain-lain menarik tanganku cepat, menyeret dalam kerumunan sesak yang tak tahu apa alasan mereka berkerumun.
aku dan lain-lain sampai di depan meja yang jadi sumber kerumunan.
“Brosurnya de”
“Brosur ini pak?”
“Iya” Tanpa menunggu pertanyaan selanjutnya keluar dari mulutku, si Bapak itu dengan lurusnya mengambil brosur burung kertas milik ia! Yang susah payah aku jaga sedari tadi agar tidak recek terkena kerumunan!
“Ini de” Es lilin itu digeletakkan saja ditanganku, dingin. Masih melamun aku perhatikan burung kertas yang kini ada di tumpukan meja dekat panci es lilin.
“Kalau sudah ambil es krim, bisa tolong keluar? Yang lain masih baris panjang de”
Dengan patah hati,aku menuju kendaraan yang sudah baris menunggu kami naik. Sayup-sayup aku dengar Si Bapak menggosip:
“Sudah nyerobot barisan orang, masih saja bengong. Padahal sudah gesit-gesit saya membagikan es!”
AFA
Comments
Post a Comment