Hari sudah senja, aku berdiri termenung di depan jendela yang berada tepat
di depan bak cuci piring. Memandang jalanan basah dan tanah lembap, tadi hujan
baru reda.
“Bi,” Suara seorang gadis kecil
membangunkan lamunanku.
“Eh,Putri. Sebentar bibi cuci tangan dulu,” Aku segera menyelesaikan gelas terakhir, membasuh
tangan, mengeringkannya dan memangku Putri, ia gadis kecil anak majikan baruku.
Aku baru bekerja 2 bulan yang lalu di rumah ini.
“Ayah sama bunda manaa?” Putri bertanya padaku.
“Sebentar lagi mungkin sampai, jalannya suka
macet. Putri tunggu sebentar lagi ya?” Aku mencoba menghibur Putri. Dia anak
tunggal, orang tuanya adalah 2 orang pekerja kantoran yang keras. Terkadang
mereka lembur hingga pulang larut malam.
“Putri mau telepon bunda sama ayah,” Wajahnya murung. Aku cari akal lagi.
“Putri,kita main perahu-perahuan yuk?” Aku mencoba membujuknya lagi. Putri diam,
matanya sendu sekali. Aku jadi ingat anak bungsuku di Samarinda, bagaimana
keadaannya?
“Liat ujan yuuu,” Dia giliran mengajakku. Akhirnya putri lupa juga
tentang orang tuanya yang belum pulang.
Aku
mengangguk dan segera mengajak putri mengambil baju hangat dan membuka pintu ke
halaman luar. Halaman rumah yang luas sekali. Dulu aku selalu bercita-cita
untuk mempunyai rumah sebesar ini, dengan pohon cersen yang menaungi bangku
panjang dibawahnya. Aku dan putri duduk di bangku itu, memetik buah-buah mungil
asem manis lalu memakannya. Kami tertawa keras saat memakan buah cersen
yang masih sangat asem. Menunjukkan ekspresi wajah lucu masing-masing. Tak
terasa malam merayap membubarkan awan senja. Angin mulai menusuk kulitku yang
hanya pakai daster ini.
“Masuk yuk, dingin.”
Aku mulai memapah putri masuk ke dalam rumah. Menanggalkan baju hangat putri
dan mengajaknya pergi ke ruang keluarga, kami biasanya membaca Juz Amma sambil
menunggu adzan magrib.
“Malikinnas,illahinnas,min
syaril was wasil khonnas, alladzi yu was wisufi sudzu rinnas, minal jinna ti
wannas,” Putri membaca surat
An-Nas, dia anak yang pintar dalam kategori TK nol kecil,menurutku. Anakku pun belum bisa membaca iqra dengan
lancar, Aku jadi merasa bersalah karena
membiarkan suamiku menjaga anakku sendirian.
“Bi?” Putri memanggilku sambil menyodorkan Juz Amma-nya.
“Sudah? Yuk ambil wudhu sekarang,” Aku pun menyimpan juz amma itu ke bupet
lalu mengajak putri ke kamar mndi untuk ambil wudhu. Kami akan sholat
bersama, berdua saja! Kemana perginya kedua orang tuanya itu?
**
“Assalamualaikum warahmatullah..”
“Assalamualaikum warahmatullah..”
Kami baru saja selesai sholat magrib. Sambil melipat mukena,
putri melihat keluar jendela .
“Putri?Makan yuk?”Aku
menawarkan padanya untuk makan malam, kebetulan tadi sore aku sudah membuat sup
kentang, membuat adonan perkedel jagung dan menggodok ayam yang kini tinggal
digoreng saja.
“Putri mau tunggu ayah
sama bunda dateng dulu bi,” Ia kembali memandang keluar jendela mushola
rumah ini. Aku bingung juga, Oh putri..
“Bibi masak dulu ya?
Mau ikut ke dapur?”
“Putri mau gambar aja
deh,” Lalu putri pergi ke kamarnya. Sebenarnya putri punya seekor kucing
anggora ,tapi kucing itu sepanjang hari ini hanya tidur saja.
“Ina, banguuun. Ayo aku mau gambar kamu,” Suara putri mulai terdengar dari dalam
kamarnya. Aku tersenyum sendiri. Semenjak aku menjadi pembantu disini, putri
langsung jatuh cinta padaku lebih-lebih pada namaku. Maka ia menamai kucingnya
‘Ina’, itu namaku, lucu dan aku sangat tersanjung saat putri bilang “Nama itu supaya aku bisa ingat bibi terus,”
sambil menunjukkan senyumnya yang manis, Ya Allah. Sebegini lucunya anak ini,
engkau berikan pada orang tua yang tak pernah mensyukuri kehadiran putri kecil
satu-satunya mereka ini?
**
“Alhamdulillaaah!” Putri tersenyum sambil mengelap-ngelap mulutnya
dengan tisu makan.
“Nah, sudah malam.
Tidur dulu ya?” Pak Wekas, ayah putri, mencium kening anaknya itu. Bu Rahma hanya tersenyum dari seberang
meja.
“Ina, tolong anter putri ke kamar ya? Saya
sama suami mau langsung tidur. Besok tolong bangunkan kami jam 5 pagi.” Bu
Rahma berdiri dari kursinhya, mencium pipi putri, lalu merangkul suaminya dan
berjalan menaiki tangga menuju lantai 2. Ke kamar mereka.
“Bobo?” Aku
menawarkan pelukan hangat pada putri, sejenak anak itu bergeming sambil
memerhatikan punggung kedua orang tuanya hingga menghilang bayangannya.
“Yuk,” Putri
langsung merangkul aku dan mendekap aku erat. Aku membawanya ke kamarnya,
memberikan untaian cerita sebelum tidur tentang seorang putri bernama Benetta
yang aku karang sendiri.
“Apa putri Benetta punya orang tua?” putri memotong ceritaku.
“Tentu saja punya,”
“Coba ceritakan
tentang orang tuanya, aku ingin tahu”
“Orang tuanya adalah
raja dan ratu yang sangat kaya raya..”
“Apa mereka sesibuk
Ayah dan Bunda?” Deg.. aku bingung menjawabnya.
“Ya, mereka orang yang
sibuk. Tapi Putri Benetta selalu bersyukur karena masih
punya orang tua. Jadi walaupun orang tuanya sibuk, Putri Benetta tetap hidup
gembira. Begitu ceritanya.” Aku tersenyum sambil mengakhiri cerita tentang putri benetta yang aku
bawakan setiap malam sebelum tidur. Benetta adalah nama anak bungsuku.
“Selamat boboo,” Suara serak Putri mengantarkannya pada batas awal
alam mimpi.
Aku keluar kamar, membereskan piring-piring kotor di meja
makan dan langsung cepat-cepat pergi ke dapur untuk mencucinya. Mataku sudah
agak perih.
Sambil duduk di pinggiran ranjang, aku mengeluarkan foto
dari laci sebelah ranjang. Menciumi foto keluarga besarku lalu memasukkannya
kembali ke dalam laci. Pukul 10 malam sekarang. Putri menunggu orang tuanya
pulang untuk bisa makan bersama. Mereka baru datang sekitar pukul 8 malam dan
agak memarahiku karena membiarkan putri menunggu mereka untuk hanya makan
malam. Tapi aku sudahi saja dengan
kata maaf, karena bagaimana lagi? Aku tidak bisa memaksa putri untuk makan
malam lebih cepat apalagi karena aku bukan orang tuanya. Apalagi dengan
pandangan mata putri yang menyayat hati dan selalu membuat aku merindukan
Benetta hingga merasa bersalah pada diri sendiri, mata seorang gadis kecil
kesepian yang sendu.
**
Pagi hari, selesai sholat subuh
aku membangunkan kedua majikannku.Namun nampaknya mereka masih lelap,terbuai
lautan mimpi. Dari balik pintu kamar tak ada jawaban apapun.
Aku turun lagi menuju kamar tidur putri dan membangunkannya.
“Putri bangun yuk, sholat subuh dulu,” Putri langsung bangun
dan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu untuk sholat.
Sementara putri
sholat, aku pergi ke dapur untuk memasak sarapan pagi ini.
“Bi, ayah sama
bunda ga dibangunin?” Putri tiba-tiba masuk ke dapur dan menanyakan padaku
perihal Ayah dan Bundanya.
“Eh iya, tadi udah
bibi ketuk kamarnya dibangunin tapi
masih tidur. Mungkin kecapean.” Aku mengaduk lagi adonan perkedel jagung.
“Oh,” lalu ia
pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan pergi ke mushola untuk sholat
subuh.
Setelah selesai
memasak, sekitar pukul 5.30 aku kembali mengetuk pintu kamar pak wekas dan bu
rahma. Ternyata dijawab dengan ucapan terima kasih lalu pintu kamar tersebut
terbuka dan Bu rahma keluar menanyakan tentang keadaan anaknya
“Putri sudah bangun?”
“Sudah bu,”
“Hari ini saya
sama suami ada rapat lagi dari jam 7, kamu anter Putri ke sekolah ya? Tunggu di
sekolahnya sampai putri pulang, ”
“Baik bu,” Lalu
pintu kamar tertutup lagi. Semenjak aku bekerja disini, kedua majikanku itu
jarang keluar kamar. Rumah ini hanya seperti tempat tidur saja bagi mereka.
Pergi pagi,pulang malam.
Pukul 6.30 rumah
sepi. Mati. Kedua majikanku itu telah pergi ke dunia asli mereka. Putri duduk
termenung di teras rumah, memelintir tali gendong tasnya.
“Putri, sudah
siap pergi?” Aku mengelus rambut keritingnya.
Dia menatapku, bukan tatapan yang dimiliki seorang gadis
kecil. Dalam sekali. Lalu ia
mengangguk sambil menenteng tas merah muda di pundaknya.
Aku dan putri
keluar rumah, berjalan sedikit melalui rumah-rumah elit di sepanjang kanan kiri
badan jalan menuju gerbang komplek agar kami bisa menemukan angkot.
Angkot melaju ringan di badan jalan yang belum macet benar.
Angin masih dingin. Putri menggunakan jaket rajut buatanku sendiri. Kami duduk
berdampingan di pojokan angkot, Aku diam saja. Putri tidak menunjukkan reaksi
ceria pagi ini. Benakku terbang. Menuju nun jauh di Samarinda, Benetta…
**
Pulang sekolah. Putri tersenyum di sepanjang jalan menuju
rumah. Tiba-tiba saja saat aku sedang memperhatikannya, dia berkata
“Tadi di kelas,
Putri di kasih gambar loh Bi.” Putri lalu membuka tasnya dan langsung
menunjukkan selembar kertas penuh warna warni krayon.
“Ini Putri dan
ini Andri,” Putri menunjuk nunjuk gambar orang-orangan yang ada di kertas itu.
Aku tertawa seketika, Putri juga tertawa.
“Bagus, Andri
yang buat?” Aku bertanya, masih tersenyum. Putri mengangguk.
“Tadi, sama bu
guru diajarin gambar. Putri bingung mau gambar apa. Terus, Andri minta
digambarin. Ya jadinya Putri gambar wajahnya Andri. Terus pas udah selesai di nilai,Andri ngasih
gambar ini ke Putri,” Putri masih tersenyum. Rona wajahnya semu delima.
Aku hanya diam
sambil tersenyum, memerhatikan rambut keritingnya yang kini basah oleh
keringat.
Senja itu, sambil membasuh dahaga
pohon cersen,bunga mawar merah putih dan rerumputan di sekitarnya, Aku
memperhatikan putri yang sedang duduk sambil tersenyum di depan teras. Rona
muka yang sama, semu delima. Sambil menggenggam erat kertas gambar hasil tangan
seorang Andri. Andri, seorang anak jenderal yang satu kelas dengan Putri.
Terkadang, aku sering melihat Pak Jenderal menjemputnya ke sekolah, namun
sisanya adalah para bawahannya. Andri layak Putri kah? Tinggal menyendiri dalam
balutan harta bergelimpang. Sungguh bukan suatu kenikmatan berdasarkan sudut
pandangku. Bahagia bukanlah sebab harta. Namun aku berkaca pula pada diri
sendiri. Lihatlah! Sekarang aku pergi merantau ke Jakarta hanya untuk cari duit
untuk makan anak-anakku di kampung sana! Sungguh aku pun sama.
Selesai menyiram,
aku menggulung selang menjadi lingkaran bergelung-gelung. Membawanya masuk ke
ruang cuci, lalu membasuhnya sedikit membersihkan noda-noda tanah yang menempel
pada selang air. Selesai itu, aku menuju kandang kucing angora milik putri.
Memberinya makanan khusus kucing yang biasa dibeli di super market.
“Bi,bantuin putri
bikin gambar yuk!” Putri memegang tanganku, membawaku menuju meja ruang
keluarga. Ia segera mengeluarkan krayon, lalu merobek kertas dari buku
gambarnya.
“Bi, kata bibi
putri bikin apa ya?” Matanya membulat menunjukkan ekspresi gadis kecil.
“Apa ya? Bibi ga bisa gambar. Coba Putri mau gambar apa?”
“Putri mau bikin
gambar Putri sama Pangeran.” Aku mengangguk setuju. Benar, aku tak bisa
menggambar. Aku hanya mengulang-ngulang sketsa wajah lonjong anakku yang selalu
tersenyum hingga dagunya melengkung parabola.
“Bi, bagusnya
gaun warna apa?”
“Biru kayak
cinderella,”
“Iya ya?”
“Terserah Putri,”
“Kalo pangerannya?”
“Hitam?”
“Sebentar, cobain dulu di kertas lain.” Putri mengambil
kertas bekas lalu mencoret-coret di atas lembarannya, warna hitam dan biru.
“Bagus ga?”
“Bagus.”
“Tapi Andri suka warna hijau tua.”
“Ya, Pake baju hijau aja pangerannya,”
Putri jadi asik sendiri, Aku meninggalkannya untuk membuat
makan malam.
Ada
soto, perkedel kentang, urap, mie goreng, kerupuk dan sambal.
Semua selesai aku
masak pada pukul 6. Saat menuju kamar putri untuk memberikan hafalan Juz Amma,
ternyata putri sudah duluan membacanya. Rajinnya. Aku tersenyum dari depan
pintu kamarnya. Lalu mataku tertuju pada satu benda baru di kamar Putri.
Gambar, Itu gambar yang tadi Putri buat. Bagus sekali.
Tiba- tiba putri terperanjat.
“Bi, Ayah sama
bunda ada di depan gerbang,” Aku dan Putri berlari menuju pintu rumah. Sejenak
mengintip keluar lewat jendela depan lalu bergegas mengambil kunci yang di
gantung di tembok dan keluar untuk membuka pintu gerbang.
Sedan BMW hitam keluaran terbaru masuk ke dalam halaman
rumah. Lampu sorotnya seketika mati.
“Bundaaaaa!” Putri
berteriak sambil mencoba memeluk ibunya yang baru keluar mobil.
“Putri, Bunda cape. Istirahat dulu ya? Ini juga kotor
badannya.” Lalu si bunda bergegas masuk ke rumah.
“Ayah? Ko ga turun?” Putri mengintip ke dalam mobil lewat
jendela kemudi yang terbuka. Lalu Si bunda keluar sambil membawa koper kecil.
“Yah, ini bekal bajunya,”
“Ayah mau ke kantor lagi, Ada kerjaan sayang. Besok kita ketemu lagi
ya? Dah Bunda!” Si Ayah memundurkan mobil keluar rumah dan menghilang.
“Putri masuk yuk? Kita sholat magrib dulu.”
“Iya Bi,”
Kami sholat berjamaah lagi. Si Bunda tak kunjung keluar
kamar. Saat akan makan, Putri mengetuk pintu kamar bundanya, namun tak ada
jawaban.
“Bundaaa,”
“Bundaaa, makan yuk!”
“..”
Karena kasihan, aku akhirnya memaksakan putri untuk makan. Sambil menonton tv di ruang keluarga.
Adzan Isya berkumandang. Kami sholat berjamaah lagi. Selesai
sholat, Aku pergi ke meja makan untuk merapikan meja makan. Bu Rahma akhirnya
turun dari lantai 2. Keliatannya habis mandi.
“Putri sudah makan?”
“Sudah bunda,”
“Temani bunda makan yuk?”
“Ya bundaaaaa,”
Mereka asik berbincang berdua. Aku segera pergi ke dapur,
tak mau mengganggu perbincangan antara ibu dan gadis kecilnya.
Sehabis mencuci piring, aku menutup jendela-jendela rumah.
Sejenak semilir angin malam membuat mataku perih hingga menjatuhkan bulir-bulir
hangat, menjalar hingga rongga-rongga pernafasanku rapuh. Rasa berbeda
berdentum saat mendengarkan keceriaan Putri yang berbincang dengan bundanya. Ada yang terenggut. Gadis
kecil yang biasanya jadi pelipur laraku kini sedang menikmati nuansa larut rasa
dengan bundanya.
“Iya bunda, Andri yang
bikin”
“Oh ya? Bagus sekali.”
Lalu mereka tertawa.
Suara mereka meraba gendang telingaku. Oh aku cemburu! Aku
juga ingin mendengar Benetta berkisah tentang sekolahnya. Namun bila aku pulang
kini, Dari sumber mana duit sekolah Benetta aku bayar?
“Inaa..” Majikanku memanggil.
Aku bergegas berlari ke ruang makan, “Iya Bu?”
“Besok saya harus pergi jam 6 dari rumah. Tolong bagunkan
sekitar jam setengah 5. Saya tidur
dulu. Selamat malam Putri,” Lalu Si bunda pergi lagi ke lantai atas. Kenapa
tidak tidur bareng putri?
“Putri, tidur
yuk.” Aku mengajak putri ke kamarnya.
“Bibi juga tidur,
Malam ini putri ga perlu di kasih cerita lagi.” Lalu putri menarik keatas
selimutnya. Terpejam.Lelap.
Aku pun bergegas
membereskan segala pekerjaan terakhir. Menarik selimut adalah sentuhan
terakhir kegiatan hari ini.
**
Klotak..Klotak..
Aku segera bangun, meraba-raba dinding kamar mencari saklar
lampu. Aku lihat jam. Jarum panjangnya menunjukkan angka 1 sedang jarum
pendeknya diangka 4.
Lalu ada suara ribut-ribut di lantai atas. Suara Bu Rahma.
Aku keluar kamar, mengambil sapu dari sudut ruang dan
perlahan naik ke lantai atas.
Tapi terhenti,
“Kita harus pergi
sekarang!”
“Bagaimana Putri?
Wekas! Kenapa ini?”
“Aku jelaskan di
mobil!”
Aku bergeming. Ada apa? Perlahan aku
turun. Kembali masuk ke kamar. Ada
hawa tak enak di sekelilingku.
Duk duk duk duk..
Aku berani tebak, itu suara koper yang dibawa turun dari
lantai atas dengan tergesa-gesa.
“Suttttt!”
“Wekas! Kita bilang Ina dulu!Kita terlihat seperti orang
yang akan kabur,” Suara Bu Rahma begitu panik. Tiba-tiba pintu kamarku
diketuk-ketuk
“Ina, Ina?” Suara
Pa Wekas.
Aku sendiri jadi
gemetar. Aku takut. Perlahan aku pejamkan mata dan mengambil nafas dalam dan
menghembuskannya. Perlahan aku buka pintu kamar. Wajah mereka. Jelas sekali
terbalut kalut.
“Ina, saya sudah
dijemput suami. Jadi saya mau berangkat sekarang. Ini uang gaji kamu untuk
bulan ini,” Ia menyerahkan 8 lembar uang pecahan 100.000.
“Ini tambahan,
saya dan suami titip putri. Kami mungkin pulang larut malam lagi hari ini atau
mungkin tidak pulang, ” Bu Rahma menyerahkan amplop tebal padaku.
"Ini uang tambahan kalau ada keperluan mendadak. Jangan digunakan kalau tidak perlu! " Aku cuma mengangguk. Kenapa
mereka?
“Tolong ya,Ina.” Pak Wekas menambahkan.
Aku masih bengong. Bingung tentang hal aneh ini. Ada apa ya?
“Ina? ”
“Eh, eh. Baik
Pa,Bu.” Aku masih bingung, namun akhirnya aku antar juga mereka sampai
menhilang di tikungan jalan komplek.
Jam 5, aku bergegas sholat subuh. Lalu membangunkan putri
yang ternyata menunjukkan reaksi biasa saat mengetahui orang tuanya sudah pergi
ke kantor.
Selesai mandi, berpakaian dan sarapan, Putri memintaku untuk
langsung mengantarkannya ke sekolahnya.
Baru saja kami sampai di depan
gerbang, mobil polisi berhenti tepat di depan rumah. Aku menyuruh putri untuk
masuk dulu ke dalam rumah,membiarkan aku berbicara dengan polisi-polisi ini.
“Mereka masih
saksi,tapi jelas saya harus usut hubungan kerja mereka dengan tersangka” Polisi
itu bicara tegas, Astagfirullah mereka kena kasus.
“Mohon bantuannya
ya bu, terimakasih” mereka pergi,aku masih dengan wajah bingung hanya terdiam
di depan pagar.
2 Bulan kemudian.
Aku mengurus
putri sebagaimana mengurus Benetta. Putri kini tinggal di rumahku, Aku tidak lagi
bekerja sebagai pembantu orang tua Putri, rumahnya telah disita sebulan yang
lalu. Putri jadi pemurung,tapi untunglah Benetta membantunya bangkit. Aku
senang. Yang aku tak bisa terima adalah Kedua orang tua Putri, Mereka membeli
kasih dengan uang.
Hari sudah senja, aku berdiri termenung di depan jendela yang berada tepat
di depan bak cuci piring. Memandang jalanan basah dan tanah lembap, tadi hujan
baru reda.
“Bi,” Suara seorang gadis kecil
membangunkan lamunanku.
“Eh,Putri. Sebentar bibi cuci tangan dulu,” Aku segera menyelesaikan gelas terakhir, membasuh
tangan, mengeringkannya dan memangku Putri, ia gadis kecil anak majikan baruku.
Aku baru bekerja 2 bulan yang lalu di rumah ini.
“Ayah sama bunda manaa?” Putri bertanya padaku.
“Sebentar lagi mungkin sampai, jalannya suka
macet. Sekarang kita main yuk?” Aku mencoba menghibur Putri. Dia anak
tunggal, orang tuanya adalah 2 orang pekerja kantoran yang keras. Terkadang
mereka lembur hingga pulang larut malam.
“Putri mau telepon bunda sama ayah,” Wajahnya murung. Aku cari akal lagi.
“Kita main perahu-perahuan yuk?” Aku mencoba membujuknya lagi. Putri diam,
matanya sendu sekali. Aku jadi ingat anak bungsuku di Samarinda, bagaimana
keadaannya?
“Liat ujan yuuu,” Dia giliran mengajakku. Akhirnya putri lupa juga
tentang orang tuanya yang belum pulang.
Akhirnya aku
mengangguk dan segera mengajak putri mengambil baju hangat dan membuka pintu ke
halaman luar. Halaman rumah yang luas sekali. Dulu aku selalu bercita-cita
untuk mempunyai rumah sebesar ini, dengan pohon cersen yang menaungi bangku
panjang dibawahnya. Aku dan putri duduk di bangku itu, memetik buah-buah mungil
asem manis lalu memakannya. Kami tertawa keras saat memakan buah cersen
yang masih sangat asem. Menunjukkan ekspresi wajah lucu masing-masing. Tak
terasa malam merayap membubarkan awan senja. Angin mulai menusuk kulitku yang
hanya pakai daster ini.
“Masuk yuk, dingin.”
Aku mulai memapah putri masuk ke dalam rumah. Menanggalkan baju hangat putri
dan mengajaknya pergi ke ruang keluarga, kami biasanya membaca Juz Amma sambil
menunggu adzan magrib.
“Malikinnas,illahinnas,min
syaril was wasil khonnas, alladzi yu was wisufi sudzu rinnas, minal jinna ti
wannas,” Putri membaca surat
An-Nas, dia anak yang pintar dalam kategori TK nol kecil,menurutku. Anakku pun belum bisa membaca iqra dengan
lancar, Aku jadi merasa bersalah karena
membiarkan suamiku menjaga anakku sendirian.
“Bi?” Putri memanggilku sambil menyodorkan Juz Amma-nya.
“Sudah? Yuk ambil wudhu sekarang,” Aku pun menyimpan juz amma itu ke bupet
lalu mengajak putri ke kamar mndi untuk ambil wudhu. Kami akan sholat
bersama, berdua saja! Kemana perginya kedua orang tuanya itu?
**
“Assalamualaikum warahmatullah..”
“Assalamualaikum warahmatullah..”
Kami baru saja selesai sholat magrib. Sambil melipat mukena,
putri melihat keluar jendela .
“Putri?Makan yuk?”Aku
menawarkan padanya untuk makan malam, kebetulan tadi sore aku sudah membuat sup
kentang, membuat adonan perkedel jagung dan menggodok ayam yang kini tinggal
digoreng saja.
“Putri mau tunggu ayah
sama bunda dateng dulu bi,” Ia kembali memandang keluar jendela mushola
rumah ini. Aku bingung juga, Oh putri..
“Bibi masak dulu ya?
Mau ikut ke dapur?”
“Putri mau gambar aja
deh,” Lalu putri pergi ke kamarnya. Sebenarnya putri punya seekor kucing
anggora ,tapi kucing itu sepanjang hari ini hanya tidur saja.
“Ina, banguuun. Ayo aku mau gambar kamu,” Suara putri mulai terdengar dari dalam
kamarnya. Aku tersenyum sendiri. Semenjak aku menjadi pembantu disini, putri
langsung jatuh cinta padaku lebih-lebih pada namaku. Maka ia menamai kucingnya
‘Ina’, itu namaku, lucu dan aku sangat tersanjung saat putri bilang “Nama itu supaya aku bisa ingat bibi terus,”
sambil menunjukkan senyumnya yang manis, Ya Allah. Sebegini lucunya anak ini,
engkau berikan pada orang tua yang tak pernah mensyukuri kehadiran putri kecil
satu-satunya mereka ini?
**
“Alhamdulillaaah!” Putri tersenyum sambil mengelap-ngelap mulutnya
dengan tisu makan.
“Nah, sudah malam.
Tidur dulu ya?” Pak Wekas, ayah putri, mencium kening anaknya itu. Bu Rahma hanya tersenyum dari seberang
meja.
“Ina, tolong anter putri ke kamar ya? Saya
sama suami mau langsung tidur. Besok tolong bangunkan kami jam 5 pagi.” Bu
Rahma berdiri dari kursinhya, mencium pipi putri, lalu merangkul suaminya dan
berjalan menaiki tangga menuju lantai 2. Ke kamar mereka.
“Bobo?” Aku
menawarkan pelukan hangat pada putri, sejenak anak itu bergeming sambil
memerhatikan punggung kedua orang tuanya hingga menghilang bayangannya.
“Yuk,” Putri
langsung merangkul aku dan mendekap aku erat. Aku membawanya ke kamarnya,
memberikan untaian cerita sebelum tidur tentang seorang putri bernama Benetta
yang aku karang sendiri.
“Apa putri Benetta punya orang tua?” putri memotong ceritaku.
“Tentu saja punya,”
“Coba ceritakan
tentang orang tuanya, aku ingin tahu”
“Orang tuanya adalah
raja dan ratu yang sangat kaya raya..”
“Apa mereka sesibuk
Ayah dan Bunda?” Deg.. aku bingung menjawabnya.
“Ya, mereka orang yang
sibuk. Tapi Putri Benetta selalu bersyukur karena masih
punya orang tua. Jadi walaupun orang tuanya sibuk, Putri Benetta tetap hidup
gembira. Begitu ceritanya.” Aku tersenyum sambil mengakhiri cerita tentang putri benetta yang aku
bawakan setiap malam sebelum tidur. Benetta adalah nama anak bungsuku.
“Selamat boboo,” Suara serak Putri mengantarkannya pada batas awal
alam mimpi.
Aku keluar kamar, membereskan piring-piring kotor di meja
makan dan langsung cepat-cepat pergi ke dapur untuk mencucinya. Mataku sudah
agak perih.
Sambil duduk di pinggiran ranjang, aku mengeluarkan foto
dari laci sebelah ranjang. Menciumi foto keluarga besarku lalu memasukkannya
kembali ke dalam laci. Pukul 10 malam sekarang. Putri menunggu orang tuanya
pulang untuk bisa makan bersama. Mereka baru datang sekitar pukul 8 malam dan
agak memarahiku karena membiarkan putri menunggu mereka untuk hanya makan
malam. Tapi aku sudahi saja dengan
kata maaf, karena bagaimana lagi? Aku tidak bisa memaksa putri untuk makan
malam lebih cepat apalagi karena aku bukan orang tuanya. Apalagi dengan
pandangan mata putri yang menyayat hati dan selalu membuat aku merindukan
Benetta hingga merasa bersalah pada diri sendiri, mata seorang gadis kecil
kesepian yang sendu.
**
Pagi hari, selesai sholat subuh
aku membangunkan kedua majikannku.Namun nampaknya mereka masih lelap,terbuai
lautan mimpi. Dari balik pintu kamar tak ada jawaban apapun.
Aku turun lagi menuju kamar tidur putri dan membangunkannya.
“Putri bangun yuk, sholat subuh dulu,” Putri langsung bangun
dan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu untuk sholat.
Sementara putri
sholat, aku pergi ke dapur untuk memasak sarapan pagi ini.
“Bi, ayah sama
bunda ga dibangunin?” Putri tiba-tiba masuk ke dapur dan menanyakan padaku
perihal Ayah dan Bundanya.
“Eh iya, tadi udah
bibi ketuk kamarnya dibangunin tapi
masih tidur. Mungkin kecapean.” Aku mengaduk lagi adonan perkedel jagung.
“Oh,” lalu ia
pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan pergi ke mushola untuk sholat
subuh.
Setelah selesai
memasak, sekitar pukul 5.30 aku kembali mengetuk pintu kamar pak wekas dan bu
rahma. Ternyata dijawab dengan ucapan terima kasih lalu pintu kamar tersebut
terbuka dan Bu rahma keluar menanyakan tentang keadaan anaknya
“Putri sudah bangun?”
“Sudah bu,”
“Hari ini saya
sama suami ada rapat lagi dari jam 7, kamu anter Putri ke sekolah ya? Tunggu di
sekolahnya sampai putri pulang, ”
“Baik bu,” Lalu
pintu kamar tertutup lagi. Semenjak aku bekerja disini, kedua majikanku itu
jarang keluar kamar. Rumah ini hanya seperti tempat tidur saja bagi mereka.
Pergi pagi,pulang malam.
Pukul 6.30 rumah
sepi. Mati. Kedua majikanku itu telah pergi ke dunia asli mereka. Putri duduk
termenung di teras rumah, memelintir tali gendong tasnya.
“Putri, sudah
siap pergi?” Aku mengelus rambut keritingnya.
Dia menatapku, bukan tatapan yang dimiliki seorang gadis
kecil. Dalam sekali. Lalu ia
mengangguk sambil menenteng tas merah muda di pundaknya.
Aku dan putri
keluar rumah, berjalan sedikit melalui rumah-rumah elit di sepanjang kanan kiri
badan jalan menuju gerbang komplek agar kami bisa menemukan angkot.
Angkot melaju ringan di badan jalan yang belum macet benar.
Angin masih dingin. Putri menggunakan jaket rajut buatanku sendiri. Kami duduk
berdampingan di pojokan angkot, Aku diam saja. Putri tidak menunjukkan reaksi
ceria pagi ini. Benakku terbang. Menuju nun jauh di Samarinda, Benetta…
**
Pulang sekolah. Putri tersenyum di sepanjang jalan menuju
rumah. Tiba-tiba saja saat aku sedang memperhatikannya, dia berkata
“Tadi di kelas,
Putri di kasih gambar loh Bi.” Putri lalu membuka tasnya dan langsung
menunjukkan selembar kertas penuh warna warni krayon.
“Ini Putri dan
ini Andri,” Putri menunjuk nunjuk gambar orang-orangan yang ada di kertas itu.
Aku tertawa seketika, Putri juga tertawa.
“Bagus, Andri
yang buat?” Aku bertanya, masih tersenyum. Putri mengangguk.
“Tadi, sama bu
guru diajarin gambar. Putri bingung mau gambar apa. Terus, Andri minta
digambarin. Ya jadinya Putri gambar wajahnya Andri. Terus pas udah selesai di nilai,Andri ngasih
gambar ini ke Putri,” Putri masih tersenyum. Rona wajahnya semu delima.
Aku hanya diam
sambil tersenyum, memerhatikan rambut keritingnya yang kini basah oleh
keringat.
Senja itu, sambil membasuh dahaga
pohon cersen,bunga mawar merah putih dan rerumputan di sekitarnya, Aku
memperhatikan putri yang sedang duduk sambil tersenyum di depan teras. Rona
muka yang sama, semu delima. Sambil menggenggam erat kertas gambar hasil tangan
seorang Andri. Andri, seorang anak jenderal yang satu kelas dengan Putri.
Terkadang, aku sering melihat Pak Jenderal menjemputnya ke sekolah, namun
sisanya adalah para bawahannya. Andri layak Putri kah? Tinggal menyendiri dalam
balutan harta bergelimpang. Sungguh bukan suatu kenikmatan berdasarkan sudut
pandangku. Bahagia bukanlah sebab harta. Namun aku berkaca pula pada diri
sendiri. Lihatlah! Sekarang aku pergi merantau ke Jakarta hanya untuk cari duit
untuk makan anak-anakku di kampung sana! Sungguh aku pun sama.
Selesai menyiram,
aku menggulung selang menjadi lingkaran bergelung-gelung. Membawanya masuk ke
ruang cuci, lalu membasuhnya sedikit membersihkan noda-noda tanah yang menempel
pada selang air. Selesai itu, aku menuju kandang kucing angora milik putri.
Memberinya makanan khusus kucing yang biasa dibeli di super market.
“Bi,bantuin putri
bikin gambar yuk!” Putri memegang tanganku, membawaku menuju meja ruang
keluarga. Ia segera mengeluarkan krayon, lalu merobek kertas dari buku
gambarnya.
“Bi, kata bibi
putri bikin apa ya?” Matanya membulat menunjukkan ekspresi gadis kecil.
“Apa ya? Bibi
Cuma bisa bikin gambar anak bibi. Coba Putri mau gambar apa?”
“Putri mau bikin
gambar Putri sama Pangeran.” Aku mengangguk setuju. Benar, aku tak bisa
menggambar. Aku hanya mengulang-ngulang sketsa wajah lonjong anakku yang selalu
tersenyum hingga dagunya melengkung parabola.
“Bi, bagusnya
gaun warna apa?”
“Biru kayak
cinderella,”
“Iya ya?”
“Terserah Putri,”
“Kalo pangerannya?”
“Hitam?”
“Sebentar, cobain dulu di kertas lain.” Putri mengambil
kertas bekas lalu mencoret-coret di atas lembarannya, warna hitam dan biru.
“Bagus ga?”
“Bagus.”
“Tapi Andri suka warna hijau tua.”
“Ya, Pake baju hijau aja pangerannya,”
Putri jadi asik sendiri, Aku meninggalkannya untuk membuat
makan malam.
Ada
soto, perkedel kentang, urap, mie goreng, kerupuk dan sambal.
Semua selesai aku
masak pada pukul 6. Saat menuju kamar putri untuk memberikan hafalan Juz Amma,
ternyata putri sudah duluan membacanya. Rajinnya. Aku tersenyum dari depan
pintu kamarnya. Lalu mataku tertuju pada satu benda baru di kamar Putri.
Gambar, Itu gambar yang tadi Putri buat. Bagus sekali.
Tiba- tiba putri terperanjat.
“Bi, Ayah sama
bunda ada di depan gerbang,” Aku dan Putri berlari menuju pintu rumah. Sejenak
mengintip keluar lewat jendela depan lalu bergegas mengambil kunci yang di
gantung di tembok dan keluar untuk membuka pintu gerbang.
Sedan BMW hitam keluaran terbaru masuk ke dalam halaman
rumah. Lampu sorotnya seketika mati.
“Bundaaaaa!” Putri
berteriak sambil mencoba memeluk ibunya yang baru keluar mobil.
“Putri, Bunda cape. Istirahat dulu ya? Ini juga kotor
badannya.” Lalu si bunda bergegas masuk ke rumah.
“Ayah? Ko ga turun?” Putri mengintip ke dalam mobil lewat
jendela kemudi yang terbuka. Lalu Si bunda keluar sambil membawa koper kecil.
“Yah, ini bekal bajunya,”
“Ayah mau ke kantor lagi, Ada kerjaan sayang. Besok kita ketemu lagi
ya? Dah Bunda!” Si Ayah memundurkan mobil keluar rumah dan menghilang.
“Putri masuk yuk? Kita sholat magrib dulu.”
“Iya Bi,”
Kami sholat berjamaah lagi. Si Bunda tak kunjung keluar
kamar. Saat akan makan, Putri mengetuk pintu kamar bundanya, namun tak ada
jawaban.
“Bundaaa,”
“Bundaaa, makan yuk!”
“..”
Karena kasihan, aku akhirnya memaksakan putri untuk makan. Sambil menonton tv di ruang keluarga.
Adzan Isya berkumandang. Kami sholat berjamaah lagi. Selesai
sholat, Aku pergi ke meja makan untuk merapikan meja makan. Bu Rahma akhirnya
turun dari lantai 2. Keliatannya habis mandi.
“Putri sudah makan?”
“Sudah bunda,”
“Temani bunda makan yuk?”
“Ya bundaaaaa,”
Mereka asik berbincang berdua. Aku segera pergi ke dapur,
tak mau mengganggu perbincangan antara ibu dan gadis kecilnya.
Sehabis mencuci piring, aku menutup jendela-jendela rumah.
Sejenak semilir angin malam membuat mataku perih hingga menjatuhkan bulir-bulir
hangat, menjalar hingga rongga-rongga pernafasanku rapuh. Rasa berbeda
berdentum saat mendengarkan keceriaan Putri yang berbincang dengan bundanya. Ada yang terenggut. Gadis
kecil yang biasanya jadi pelipur laraku kini sedang menikmati nuansa larut rasa
dengan bundanya.
“Iya bunda, Andri yang
bikin”
“Oh ya? Bagus sekali.”
Lalu mereka tertawa.
Suara mereka meraba gendang telingaku. Oh aku cemburu! Aku
juga ingin mendengar Benetta berkisah tentang sekolahnya. Namun bila aku pulang
kini, Dari sumber mana duit sekolah Benetta aku bayar?
“Inaa..” Majikanku memanggil.
Aku bergegas berlari ke ruang makan, “Iya Bu?”
“Besok saya harus pergi jam 6 dari rumah. Tolong bagunkan
sekitar jam setengah 5. Saya tidur
dulu. Selamat malam Putri,” Lalu Si bunda pergi lagi ke lantai atas. Kenapa
tidak tidur bareng putri?
“Putri, tidur
yuk.” Aku mengajak putri ke kamarnya.
“Bibi juga tidur,
Malam ini putri ga perlu di kasih cerita lagi.” Lalu putri menarik keatas
selimutnya. Terpejam.Lelap.
Aku pun bergegas
membereskan segala pekerjaan terakhir. Menarik selimut adalah sentuhan
terakhir kegiatan hari ini.
**
Klotak..Klotak..
Aku segera bangun, meraba-raba dinding kamar mencari saklar
lampu. Aku lihat jam. Jarum panjangnya menunjukkan angka 1 sedang jarum
pendeknya diangka 4.
Lalu ada suara ribut-ribut di lantai atas. Suara Bu Rahma.
Aku keluar kamar, mengambil sapu dari sudut ruang dan
perlahan naik ke lantai atas.
Tapi terhenti,
“Kita harus pergi
sekarang!”
“Bagaimana Putri?
Wekas! Kenapa ini?”
“Aku jelaskan di
mobil!”
Aku bergeming. Ada apa? Perlahan aku
turun. Kembali masuk ke kamar. Ada
hawa tak enak di sekelilingku.
Duk duk duk duk..
Aku berani tebak, itu suara koper yang dibawa turun dari
lantai atas dengan tergesa-gesa.
“Suttttt!”
“Wekas! Kita bilang Ina dulu!Kita terlihat seperti orang
yang akan kabur,” Suara Bu Rahma begitu panik. Tiba-tiba pintu kamarku
diketuk-ketuk
“Ina, Ina?” Suara
Pa Wekas.
Aku sendiri jadi
gemetar. Aku takut. Perlahan aku pejamkan mata dan mengambil nafas dalam dan
menghembuskannya. Perlahan aku buka pintu kamar. Wajah mereka. Jelas sekali
terbalut kalut.
“Ina, saya sudah
dijemput suami. Jadi saya mau berangkat sekarang. Ini uang gaji kamu untuk
bulan ini,” Ia menyerahkan 8 lembar uang pecahan 100.000.
“Ini tambahan,
saya dan suami titip putri. Kami mungkin pulang larut malam lagi hari ini atau
mungkin tidak pulang, ” Bu Rahma menyerahkan uang 500.000 padaku. Kenapa
mereka?
“Tolong ya,Ina.” Pak Wekas menambahkan.
Aku masih bengong. Bingung tentang hal aneh ini. Ada apa ya?
“Ina? ”
“Eh, eh. Baik
Pa,Bu.” Aku masih bingung, namun akhirnya aku antar juga mereka sampai
menhilang di tikungan jalan komplek.
Jam 5, aku bergegas sholat subuh. Lalu membangunkan putri
yang ternyata menunjukkan reaksi biasa saat mengetahui orang tuanya sudah pergi
ke kantor.
Selesai mandi, berpakaian dan sarapan, Putri memintaku untuk
langsung mengantarkannya ke sekolahnya.
Baru saja kami sampai di depan
gerbang, mobil polisi berhenti tepat di depan rumah. Aku menyuruh putri untuk
masuk dulu ke dalam rumah,membiarkan aku berbicara dengan polisi-polisi ini.
“Mereka masih
saksi,tapi jelas saya harus usut hubungan kerja mereka dengan tersangka” Polisi
itu bicara tegas, Astagfirullah mereka kena kasus.
“Mohon bantuannya
ya bu, terimakasih” mereka pergi,aku masih dengan wajah bingung hanya terdiam
di depan pagar.
2 Bulan kemudian.
Aku mengurus
putri sebagaimana mengurus Benetta. Putri kini tinggal di rumahku, Aku tidak lagi
bekerja sebagai pembantu orang tua Putri, rumahnya telah disita sebulan yang
lalu. Putri jadi pemurung,tapi untunglah Benetta membantunya bangkit. Aku
senang. Yang aku tak bisa terima adalah Kedua orang tua Putri, Mereka membeli
kasih dengan uang. Kini,mereka masuk penjara tanpa pernah membuat putri
merasakan kasih sayang. mereka kena kasus korupsi.Amplop yang dititipkan padaku berisi uang 25 juta yang haram! Orang tua Putri memang keterlaluan!
AFA
Comments
Post a Comment